kawah papandayan. Foto : travel,detik.com |
Sekitar tahun 2002-2003 saya menjelajahi gunung Papandayan bersama Prof Hans Kerrkhof dari Universitas Twente. Dalam perjalanan pulang dari kawah-kawah gunung Papandayan, sore itu, tiba-tiba kami dikepung kabut tebal. Jarak pandang hanya 1-2 meter. Jadi kami kehilangan arah. Titik/tempat yang menjadi acuan tidak terlihat. Karena sudah sore, kami harus terus bergerak sebelum disergap kegelapan malam. Sepanjang waktu itu kami terus berteriak-teriak, "TOLONG..TOLONG..", "ada orang yang dengar kami??" dsb. Tapi tak pernah ada jawaban.
Kabut di papandayan. Foto : |
Ketika kulihat ada aliran air, maka kami pun mengikuti aliran air. Sampailah kami diujung aliran air tersebut yang ditutup semak-semak. Kembali kami berteriak-teriak, kembali tiada jawaban. Akhirnya semak-semak itu kuterobos, EH... EH... Semak-semak itu di pinggir jalan menuju kawah (lebar jalan 3-4 m). Hanya 50 m dari sebuah kemah, dan 100 m dari parkiran mobil kami! Dekat dengan warung-warung.. dekat dengan keramaian.
semak2 dekat parkiran dan warung. Foto |
Aneh tapi nyata, suara kami tak pernah didengar/direspon orang lain!